Isnin, Februari 07, 2005

Ibuku

Di suatu malam yang biasa, dibisingi oleh suara TV yang selalu hidup ketika ayahku ada. Kami sekeluarga berkumpul menikmati kebersamaan. Ayahku sibuk menonton televisi kesayangannya. Ibuku duduk di meja makan sambil ngemil kue-kue dan sedikit makanan ringan. Walaupun kami sudah tidak lengkap lagi karena kakak-kakakku telah berkeluarga dan berpisah dari kami, tetap saja kami di dalam hati masing-masing masih merindukan saat-saat yang telah lalu di masa-masa keluarga kami sangat miskin akan materi tetapi berkelimpahan rasa kebersamaan yang besar. Aku pun sampai sekarang masih teringat saat-saat aku dan kakak-kakakku berebut makanan sambil menonton acara senam pagi di TVRI tiap hari minggu. Saat-saat di mana obrolan-obrolan yang ketika itu tidak aku mengerti, tetapi aku tetap menguping. Karena aku senang sekali dengan suasana yang ramai itu. Suasana keluarga besar yang anggotanya sebanyak sembilan orang. Suasana yang dihidupi oleh pertengkaran, canda, tawa dan masalah-masalah kehidupan pada umumnya. Akan tetapi kali ini aku tak kan menceritakan tentang keluarga ku. Melainkan hanya tentang ibuku tercinta.

Semua orang mengatakan ikatan antara ibu dan anak sangatlah kuat. Akan tetapi aku tidak pernah setuju dengan pendapat mereka. Menurutku bukanlah suatu ikatan, melainkan aliran kebahagiaan. Ikatan bersifat mengekang, sedangkan aliran kebahagiaan bersifat memerdekakan. Memang aku merasa terikat dengan ibuku. Tapi itu semua bukan karena paksaan, itu semua karena aku bahagia berada di dekatnya. Dia adalah wanita yang dilahirkan di desa candi, Gunung Kidul. Dia adalah wanita yang memulai hidupnya lebih keras dari pada siapa pun pada keluarga kami. Terlahir sebagai anak janda miskin yang hidup di daerah gersang, susah air dan penghidupan, sarana kesehatan dan pendidikan yang minim dan keadaan perang yang memberikan aura kekhawatiran yang besar. Ibunya (nenekku) hanya seorang pedagang daging yang kadang-kadang tidak habis terjual. Berjuang keras menghidupi kelima anaknya di daerah yang bahkan pohon pun sulit untuk tumbuh. Tapi tetap berjuang demi kelangsungan hidup kelima anaknya.

Ibuku adalah anak bontot. Kemauannya sangat keras dan pikirannya sedikit irasional. Dia percaya apa yang dianggap masyarakat umum tahayul tetapi nyata baginya. Sesajen, dukun atau paranormal atau abnormal atau orang pintar adalah fenomena yang umum dia temui sejak kecil. Bahkan hal itu pun dibawanya kepada kami anak-anaknya yang dia sekolahkan untuk berpikir rasional dan sekarang mendarah daging di dalam kehidupan kami. Budaya jawa memang sangat kental mengalir di dalam darahnya. Bahkan untuk melakukan sesuatu dia tidak pernah melupakan doa, syarat, puasa dan lain-lain. Dia juga melakukan puasa senin kamis untuk anak-anaknya. Dia rela melakukan hal-hal tersebut karena kepercayaannya yang besar akan hal itu. Dia selalu prihatin di saat-saat kami mengalami hal yang berat. Dia selalu memberikan semangat di saat kami lelah dan frustasi. Dia yang akan selalu rela berdiri di garis depan untuk melindungi kami. Nyawa , harta dan segala yang dia miliki hanya untuk anaknya, cucunya dan keturunannya. Akan tetapi dia juga yang akan marah pertama kali ketika kami melakukan suatu kesalahan. tetapi dia tetap liberal terhadap kami, walaupun kadang dia tidak suka dengan kelakuan kami, dia tetap memberikan ruang untuk kami. Kami berhak memilih jalan kami sendiri. Hanya saja di dalam kehidupan ini selalu saja ada orang lain yang membuat keonaran. Selentingan-selentingan dan sindiran terhadap anak-anaknya yang belum sukses selalu mengiris hatinya. Bahkan dia harus menanggung ulahku yang tidak menyelesaikan kuliah ku tepat waktu. Dia menangis, berpuasa dan berdoa untuk itu. Bahkan mungkin dia lah yang lebih banyak berjuang ketimbang diriku. Selalu saja dia berhasil untuk membuatku menitikan air mata entah itu berasal dari samudra kebahagiaan atau samudra kesedihan dan kemudian menggerakkan api yang ada di dalam diriku. Andai saja suatu saat aku memiliki istri yang sifatnya seperti dia.

Ibuku memang orang yang agak malas tapi dia selalu merasa dia adalah orang yang paling rajin di dalam keluarga. Memang beberapa sifat negatif seperti mudah marah, keras kepala ada di dalam dirinya, dan beberapa sifat itu menurun ke dalam diriku. Akan tetapi semangat untuk tetap hidup dan berbahagia juga dia turunkan kepadaku walaupun sebenarnya dia juga menurunkan kepekaan terhadap kenyataan yang membuat aku sulit untuk berbahagia. Tetapi kegemaran menyanyi , optimis , percaya mimpi/muzizat dan kepercayaan diri yang tinggi dia bekalkan untukku dalam menghadapi hidup ini. Bahkan dia secara tidak langsung mengajarkan aku untuk mengimani sesuatu.

Kembali pada suasana malam yang biasa. Aku ikut menonton acara televisi bersama ayahku. Walaupun acara tv tidak ada yang istimewa, tetapi tidak ada pilihan lain. Ayahku pun meminta dipijat bagian lehernya. Sudah beberapa tahun sejak serangan jantung, ayahku sering sakit-sakitan dan aku tidak dapat berbuat banyak kecuali memijat badan, tangan, leher dan kakinya dengan segala ilmu pemijatan yang aku pelajari dari buku, mulai dari pijat refleksi sampai pijat dengan menggunakan tenaga prana. Kemudian datanglah ibuku dari kamar kesayangannya sambil bernyanyi dan dia katakan kepadaku. “Jem , mami mau merokok!”. Aku sangat kaget mendengarnya , pikirku sejak kapan ibuku kecanduan merokok. “Mami pusing mikirin duit.” Katanya. Aneh bagiku mendengar kata-kata itu. Karena di dalam keluarga hanya aku dan kakak lelaki tertua yang merokok, ayah pun telah lama berhenti sejak kesulitan dalam menghidupi keenam anaknya. Sambil menonton acara tv di kamar kakakku. Dia berteriak kepadaku “Jem, di mana korek mu? Mami ngga mau nyulut rokok pakai api kompor.”. Aku hanya tertawa sambil menjawab “ada di meja komputer ku nyak!”. Aku memang biasa memanggil ibuku “maknyak” sejak sinetron doel anak sekolahan itu. Dan sampai sekarang panggilan itulah yang paling pas menurutku. Tidak terlalu formal dan membuat suasana bahwa dia bukan hanya ibu, tetapi juga temanku. Kemudian setelah selesai aku memijat ayahku. Aku teriak “Nyak, sudah selesai belum ngrokoknya? Aku mau merokok bareng maknyak.”. Kemudian aku masuk ke kamar kakakku. Aku tertawa melihat caranya merokok. Dia selalu tidak sabar untuk menghisap rokok tersebut. Sesekali dia keluarkan lewat hidungnya. Pikirku, belajar dari mana dia merokok. Sepertinya dia tidak bisa merokok, tapi kok bisa mengeluarkan asap lewat hidungnya. Belakangan ini memang ibuku, suka merokok ketika giginya sakit. Dia percaya bahwa rokok bisa menyembuhkan sakit giginya. Hal ini terjadi gara-gara waktu itu sakit giginya kumat. Dia menelpon om widji kenalan ibuku yang lebih senang disebut seorang “abnormal” ketimbang “paranormal”. Saat itu om widji mau untuk mengobati rasa sakit gigi ibuku dengan teknik penyembuhan jarak jauh asalkan saja ibuku mau untuk merokok. Sebagai orang yang liberal dan mistis, ibuku sih mau saja merokok dari pada menderita oleh sakit giginya itu. Dimintanya lah rokokku sebanyak 4 batang, kemudian dia tutup telepon dan menunggu 10 menit sesuai instruksi om widji. Setelah itu dia hisap rokok Djohar Manik yang dimintanya dariku. Sejak saat itu Dia bisa bernyanyi lagi dan tidur tenang di malam hari. Tapi yang aku rasa aneh adalah sekarang ini dia kadang-kadang suka merokok, entah karena sakit atau kecanduan aku juga tidak mengerti. Yang lebih aneh lagi adalah dia tidak menelpon om widji dulu untuk diproses secara gaib. Dia hanya meminta beberapa batang rokok dan dia yakin itu bisa menyembuhkan sakit giginya. Aneh memang, dia benar2 sembuh dari sakit giginya setelah merokok. Aku tak tahu apakah dia telah mengimani rokok sebagai obat sakit giginya, sehingga tidak memerlukan bantuan om widji atau dia telah kecanduan rokok seperti diriku. Mungkin dia kecanduan rokok pikirku. Soalnya dia pernah berkata “Mami pusing mikirin duit.”. Tapi aku tak peduli lagi sekarang apakah untuk obat sakit gigi atau obat stress, yang penting bagiku aku memiliki ibu yang sekaligus dapat menjadi teman merokok dan ngobrol. Malam itu ibuku curhat banyak sekali tentang pesonanya saat muda yang menggoda banyak pria sampai akhirnya tertidur pulas. Yah begitulah ibuku, selalu merasa cantik setara dengan bintang film. J