Ahad, Ogos 07, 2005

Belajar Melihat

Senja hari mulai datang. Ditemani Ksatria Ucrit Guru Cuplis asik sekali bermain catur. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam berlalu.Menang kalah tidak menjadi persoalan bagi keduanya. Yang penting bagi Ucrit adalah kemampuannya mengatur strategi meningkat. Kerajaan boneka mulai sepi, penduduk mulai masuk rumah dan kesunyian mulai mengisi ibu kota kerajaan. Ketika hari menjelang malam, tiba-tiba pangreanUnyil menghampiri mereka. Menonton keasyikan pertempuran di dunia catur.
"Belum tidur Nyil?" Tanya Ucrit.
"Aku tak bisa tidur. Nyamuk tak henti-hentinya menggangguku."
Suasana kembali hening. Tiba-tiba saja Guru Cuplis tertawa.
"Hahaha!!!"
"Ada apa Guru?" tanya Unyil.
Sambil menggaruk-garuk kepala Guru Cuplis menjawab
"Aku kalah Crit, kamu tambah hebat saja."
"Ah, Guru paling mengalah saja." jawab Ucrit.
"Tidak Crit, Aku memang kalah kok. Kamu tak perlu sungkan untukmengaku menang, lagi pula biarpun kau menang, aku tak mungkin menjadi muridmu. Hahahaha!"
"Sekarang kan ada tiga orang, bagaimana kalau kita bermain troof saja?" Unyil sangat ingin bermain kartu supaya ngantuk.
"Bagaimana kalau kita bermain belajar melihat?" Guru Cuplis sepertinya akan mengajarkan suatu ilmu baru untuk murid-muridnya.
"Belajar apa itu Guru? Kami sudah dapat melihat semenjak lahir." Tanya Unyil.
"Ah kalian, masih bau kencur, sudah yakin bisa melihat." Kemudian Guru Cuplis memegang kedua tangan mereka dan menggeret mereka keluar istana.
"Guru, mau dibawa ke mana kami?", Unyil keheranan dengan sikap Gurunya itu.
"Hanya ke Hutan, kita bermain di sana." jawab Guru Cuplis.
"Bukankah ada nenek sihir di sana?" Tanya Ucrit.
"Ah, dia bukan nenek sihir, dia sama seperti diriku, sudahlah tidak usah takut, orang-orang saja yang keterlaluan terhadapnya."
Guru Cuplis sepanjang perjalanan menjelaskan mengapa orang-orang benci terhadap nenek sihir tersebut. Tidak sadar telah berjalan jauh, akhirnya mereka tiba pada pohon tua yang sangat besar sekali.
Tampak ketakutan, Unyil bertanya.
"Gu... gu... guru, bukankah ini rumah si nenek sihir itu?"
"Iya Nyil, So what gitu lho? hahaha" Sepertinya guru cuplis senang melihat ekspresi takut murid2nya.
Ucrit mulai mengeluarkan pedangnya, bersiap-siap untuk hal yang tidak diinginkan.
"Crit, tidak perlu seperti itu!" Kemudian guru Cuplis mengetok pohon tersebut.
"Imelda! Imelda!" guru Cuplis sengaja ingin menakut-nakuti muridnya. Dia memanggil terus nama nenek sihir tersebut sampai tiba-tiba terjadi penampakan di atas pohon tersebut.
"Hihihihihi..." Imelda tampak di atas sebuah pohon melayang-layang dengan wajah menyeramkan.
Ucrit dan Unyil berlari ke belakang gurunya sambil terkencing-kencing."Guru, selamatkan kami." Unyil ketakutan sekali rupanya.
"Sudahlah Imelda, bangunlah dari meditasimu. Bukakan pintu mu segera."
"Bukankah kau pun bisa membukanya Cuplis?"
"Tidak sopan bagi seorang tamu untuk membuka pintu sendiri."
"Oke, oke, sutralah..." jawab Imelda.
Tiba-tiba saja bayangan tersebut menghilang, dan pohon tua yang akarnya sangat besar tersebut, terbuka di bagian pintunya.
"Cuplis... kau masih tampan seperti dulu saja. Kadang aku merindukanmu."
"Aku pun merindukanmu kasih..."
"Cieee, cieee... suit suit" Unyil dan Ucrit meledek gurunya.
"Heh heh heh... kurang ajar ya" Imelda marah.
"Kenalkan Imelda, ini murid-muridku. Aku ingin kamu mengajarkan mereka melihat."
"Mengapa tidak kau saja kasih? Bukankah dahulu kau yang mengajarkan?"
"Ilmu dari guru yang lain, sangat baik untuk perkembangan mereka. Mereka sudah bosan denganku imelda."
"Baiklah, Plis... Aku akan ajarkan mereka sekarang."
"Sayang, terima kasih ya. Tapi tolong dong, aku ingin wujud aslimu yang mempesona diriku ini.
"Oke... oke... tak masalah."
Tiba-tiba saja Imelda berubah menjadi wanita tua yang cantik, walaupun tampak keriput.Akan tetapi garis-garis kecantikannya belum menghilang.
"Silahkan masuk anak-anak!" Imelda berjalan masuk menuntun mereka.
"Maaf, atas keadaan yang berantakan ini. Tunggu ya, aku akan mengambilkan kalian makanan kecil dan teh ramuan ku yang terenak itu." Imelda pun pergi ke dalam dapurnya, yang konon katanya adalah ruangan di dimensi lain.
Mereka bertiga duduk santai di dalam pohon tersebut. Unyil dan Ucrit hanya bertanya-tanya di dalam hati, apalagi yang akan ditunjukkan oleh gurunya yang setengah gila itu.
Imelda kembali lagi ke tengah mereka. Dan duduk di antara mereka setelah menyuguhkan kue-kue coklat kecil dan 4 gelas teh.
"Sudah siap anak-anak?" Tanya Imelda.
"Belum nek,... kami ingin menikmati tehnya dulu." Jawab Ucrit.
"Hihihi, kamu cukup berani nak, tapi pangeran itu sepertinya masih takut terhadap ku." Imelda membuka pembicaraan.
"Boleh saya bertanya nek?" Ucrit menimpali.
"Silahkan nak, gunakan waktumu."
"Ternyata nenek sangat ramah ya, tapi mengapa nenek sering menakuti orang-orang yang datang ke sini?"
"Oh itu, aku hanya tidak ingin mereka mengganggu meditasiku nak, aku tidak berniat macam-macam kok."
"Lalu, bagaimana nenek dapat bermeditasi, tapi juga dapat hadir menakuti orang-orang?"
"Hmmm, itulah sebenarnya yang gurumu ingin ajarkan kepadamu."
"Ajaran apa itu nek?"
"Ajaran untuk melihat. Coba perhatikan, abrakadabra!" Tiba-tiba saja semua lampu mati, dan mereka tidak dapat lagi melihat, kecuali Cuplis dan Imelda.
"Guru, apa yang terjadi?" Unyil sangat ketakutan.
"Nyil, sudahlah, lepaskan curiga mu dan ketakutanmu." Guru Cuplis menenangkan.
Tidak lama kemudian Imelda berpendar, mereka mulai dapat melihat sosok Imelda di dalam kegelapan. Unyil dan Ucrit pun terkagum-kagum.
"Wah, nenek hebat" seru si Unyil.
"Masih ada yang lebih hebat" kata Imelda.
Tiba-tiba Guru Cuplis berpendar, Unyil berpendar dan Ucrit pun berpendar. Mereka sudah dapat melihat satu sama lain. Teh, meja, kursi dan kue-kue pun berpendar.Dan akhirnya seluruh ruangan terang berkilau seperti berada di dalam sebuah kilat.
"Wow..." Ucrit hanya bisa bergumam.
"Kalian tahu? bagaimana kalian dapat melihat?"
"Tahu nek, karena adanya pantulan cahaya." jawab Ucrit.
"kalian tahu bagaimana Guru dan Nenek dapat melihat?"
"Sama nek, dari pantulan cahaya juga" Jawab Unyil.
"Salah, karena itu kalian perlu belajar untuk melihat dengan benar."
"Apa itu nek, melihat dengan benar?"
"Melihat tanpa indra penglihatanmu. Melainkan dengan pikiranmu."
"Ohhh..." Unyil dan Ucrit mengangguk seakan mengerti.
"Jangan sok tahu, kalian tak bisa belajar hanya mendengar penjelasankata-kataku, kalian harus mencoba dan mencoba untuk berhasil."
"Apa yang harus kami lakukan nek?" Unyil tampak sangat penasaran.
"Aku tak bisa mengajarkan kalian apa yang harus dilakukan. Tapi aku dapat memberikan petunjuk bagaimana itu dilakukan."
"Ehem, sedikit interupsi Imelda, bagaimana kalau di mulai dari konsep realitas dunia ini." Guru Cuplis mengarahkan pembelajaran Unyil dan Ucrit.
"Baiklah, aku akan bercerita dan aku ingin kalian simak baik-baik."
Mereka diam sebentar dan kemudian Imelda mulai menjelaskan.
"Dunia ini, dipenuhi oleh suatu zat, zat itu tidak terbatas jumlahnya. Mengisi seluruh alam semesta mulai dari ujung alam semesta sampai ujung alam semesta.Tidak ada yang bisa mendefinisikan zat itu. Otak kalian yang kecil itu tidak mampu untuk mengerti, tetapi hati kalian dapat mengerti, karena itu gunakan hati untuk dapat melihat zat itu. Akan tetapi otak kalian dapat mengerti mengenai konsep realitas.Realitas yang kalian rasakan, kalian sentuh dan kalian dengar adalah ekspresi dari zat tersebut. Ekspresi itulah apa yang dinamakan energi oleh orang-orang. Dan orang lain menyebutnya dengan nama yang berbeda. Ekspresi-ekspresi itulah yang menjadikan alam semesta ini tercipta. Sekarang kalian renungkan dahulu sebentar, nanti akan nenek sambung lagi setelah kalian cukup mengerti konsep realitas."
"Aku cukup mengerti nek, lantas mengapa gelas bisa ada dan tercipta?" tanya unyil.
Imelda kemudian mengangkat gelas tersebut, kemudian bertanya.
"Apa yang aku lakukan?"
"Mengangkat gelas." jawab Ucirt.
"Benar, lantas apa yang berpindah?" Imelda kembali bertanya.
"Gelas, tangan nenek, air teh dan udara-udara di sekeliling gelas." Unyil menjawab dengan yakin.
"Salah Besar! Tidak ada yang berpindah, semua dalam keadaan tetap."
Unyil dan Ucrit tampak tambah keheranan dengan jawaban itu.
"Aku melihat gelas itu berpindah." Unyil ngotot.
"Iya, tapi kau tidak melihat ada yang tetap." Sela guru Cuplis.
"Kalau begitu ekspresi zat itu." Jawab Ucrit dengan lantang.
"Salah juga." jawab Imelda.
"Hmmm, berarti tidak ada perpindahan sama sekali nek?" Unyil bertanya kembali.
"Ya, itulah yang sebenarnya, tidak ada yang berpindah, bahkan ekspresinya pun tidak berpindah,tetapi berubah."
"Coba perhatikan, misal saja aku mempunyai 10 buah lampu. Dan lampu adalah representasi dari zat tersebut, dan ekspresi lampu hanya ada 2 buah, menyala dan mati. Abrakadabra!"
Imelda menciptakan 10 buah lampu yang berjajar dengan ajaib.
"Coba perhatikan, aku nyalakan lampu pertama, dan cahaya tersebut adalah representasi ekspresi gelas. Kemudian aku mematikan lampu pertama dan menyalakan lampu ke dua. Apa yang terjadi?"
"Lampu pertama mati dan lampu ke-dua menyala." jawab Unyil.
"Benar, kalau menurutmu Ucrit?"
"Gelas berpindah. Ekspresi berubah."
"Kamu lebih mengerti Ucrit."
"Jadi, Nenek, aku, guru, dan Unyil hanyalah ekspresi seperti itu?"
"Bukan engkau Ucrit, tapi tubuhmu, bajumu, pedangmu. dan semuanya.
"lantas aku?" Tanya Ucrit.
"Kau adalah zat itu, tapi kau tak sadar, karena sekarang adalah egomu yang berbicara, yang merupakan bagian dari ekspresi itu juga."
"Jadi nenek, ketika aku berjalan, sebenarnya aku tidak berpindah, hanya ekspresiku saja yang berpindah."
"Bukan berpindah, tapi berubah." jawab Imelda.
"Aku masih tidak bisa mengerti nek." Sela Unyil.
"Lantas bagaimana zat itu dapat mengatur sinkronisasi dari semua ekspresi?" tanya Ucrit.
"Aku tak bisa menjelaskan itu Crit, hanya ketika kau mengerti tentang eksistensi zat itu. Kau dapat mengerti dengan sendirinya"
"Hmmm, jadi apa yang aku lihat hanyalah ekspresi saja, aku tak pernah bisa benar-benar melihat realitas sesungguhnya. Kecuali..."
"yah, seperti itulah Crit." ditambahkan Guru Cuplis.
"Jadi, ada banyak sekali lampu dong Guru?" tanya Unyil.
"Cuma satu." Jawab Cuplis.
"Lho?" Unyil makin heran.
"Kau tidak perlu mengerti tentang zat itu sekarang, yang perlu kau mengerti hanyalah tentang ekspresinya." Imelda menerangkan.
"Ohhh... , lantas ada berapa banyak ekpresi dalam satu lampu nek?" tanya Unyil.
"Sangat banyak tak terhitung, dan itulah mengapa dunia ini menjadi multidimensi.Hampir bisa dikatakan bahwa ekspresinya pun tidak terbatas jumlahnya."
Kemudian kedua murid tersebut hanya bisa merenung. Sedangkan Guru mereka bercerita satu sama lain tentang kehidupan masing-masing. Tidak terasa sudah satu setengah jam mereka di sana. Imelda pun tersadar bahwa teh di gelas anak-anak sudah habis.
"Ada yang mau tambah minum?" Tanya Imelda.
"Aku nek." Jawab Unyil.
Kemudian Imelda memegang gelasnya yang masih penuh oleh cairan teh dan mengangkat gelas terebut dengan tangannya. Dengan ajaib gelas Imelda tetap tertinggal dan penuh di meja, sedangkan tangannya mengangkat duplikasi dari gelas aslinya.
"Ini nyil, duplikasi dari ekpresi teh dan gelas ku. minumlah."
"oke nek." Unyil meminum teh yang diberikan Imelda, dia heran mengapa rasanya tetap nikmat dan jumlahnya pun sama dengan yang asli. Unyil hanya menggelengkan kepalanya dan berkata.
"Nikmat sekali nek, aku ingin lagi."
Imelda melakukan hal sebelumnya berulang-ulang dengan tangannya. Tidak terasa, mejadi penuh oleh puluhan gelas berisi minuman teh ramuan Imelda.
"Minumlah sampai kau puas Nyil. Aku ingin ngobrol dengan guru mu dulu, renungkanlah apa yang baru kalian pelajari."
Mereka begadang sampai pagi. Unyil dan Ucrit hanya bisa berpikir dan keheranan, tapi mereka yakin, suatu kelak mereka dapat mengerti zat apa yang dapat menciptakan ekspresi yang menakjubkan itu. Yang menciptakan dunia multidimensi ini.

Rabu, Ogos 03, 2005

Belajar Memanah

Di siang hari bolong, di sebuah kerajaan boneka.Guru Cuplis sedang belajar memanah di taman belakang kerajaan. Di bawah pohon beringin yang rindang, Guru Cuplis tampak seperti memperagakan gerakan memanah tanpa busur. Gerakan tersebut diulangnya berkali-kalihingga menarik perhatian pangeran unyil. Lalu pangeran Unyil datang untuk mencari tahu apa yang sedang dikerjakan gurunya.

Unyil : "Guru, kau sedang apa?"
Guru Cuplis : "Aku sedang belajar memanah Nyil."
Unyil : "ha ha ha, Guru membohongiku. Mana mungkin belajar memanah tanpa busur dan anak panah?"
Guru Cuplis : "Sepertinya engkau membohongi dirimu sendiri Nyil?"
Unyil mengernyitkan jidatnya sedikit, dia tampak semakin keheranan dengan jawaban gurunya.
Guru Cuplis : "Nyil, berlatihlah memanah seperti aku. Biar nanti engkau dapat menjadi ksatria yang hebat."
Unyil : "Bagaimana mungkin guru? Tanpa busur dan anak panah?"
Guru Cuplis : "Siapa bilang aku memanah tanpa busur dan anak panah?"
Unyil : "Ah, guru pandai mengarang." Unyil sedikit meledek.
Guru Cuplis : "Apakah kamu tidak lihat busur dan anak panahku nyil?"
Unyil : "Aku hanya melihat angin guru."
Guru Cuplis : "Bodoh kamu, angin yang tidak terlihat dapat kau lihat, tapi busur dan anak panah tidak dapat kau lihat!"
Unyil : "Aku memang bodoh guru! Bapak ku Raja Ogah." Unyil tertawa ngakak.
Guru Cuplis : "Kamu dengan Bapak mu sama-sama bodoh. Entah bagaimana nanti nasib kerajaan boneka ini. uhhh..."
Nampaknya Guru Cuplis kesal, anak murid kesayangannya, calon pengganti Raja Ogah ternyata sebodoh bapaknya.Dengan tidak mempedulikan Unyil, Guru Cuplis tetap melakukan gerakan tadi berulang-ulang. Unyil yang sebenarnya tidak begitu bodoh memperhatikan apa yang dilakukan gurunya. Unyil mulai mengantuk, dan tiba-tiba saja.
Guru Cuplis : "Horeee Nyil, Tepat sasaran!" Guru Cuplis melompat-lompat kegirangan seperti orang gila.
Unyil : "Dasar orang gila."
Unyil masih terheran-heran. Tidak lama kemudian Unyil bangkit dari duduknya dan menghampiri guru Cuplis.
Unyil : "Guru, boleh aku pinjam busurmu?"
Guru Cuplis : "Silahkan saja Nyil. Tapi hati-hati ya, agak berat sedikit."
Unyil mulai memperagakan apa yang dilakukan Gurunya. Dia terlihat mulai membidik, lalu melepaskan anak panah kesasaran.
Guru Cuplis : "Nyil, kena tidak?"
Unyil : "Tidak guru, terlalu jauh sasarannya.Lagipula anginnya kencang"
Guru Cuplis : "Terus berlatih Nyil, Guru di sini membimbing kamu."
Selama setengah jam lebih berlatih akhirnya Guru Cuplis menguji muridnya.
Guru Cuplis : "Nyil, di manakah sasaranmu?"
Unyil : "Di depan sejauh 100 meter Guru."
Guru Cuplis : "Nyil, di manakah sasaranmu?"
Unyil : "Di depan Guru."
Guru Cuplis : "Nyil, dimanakah busurmu?"
Unyil : "Di tanganku Guru."
Guru Cuplis : "Nyil, dimanakah anak panahmu?"
Unyil : "Sedang melesat kencang guru."
Guru Cuplis : "Apakah anak panahmu tepat sasaran?"
Unyil : "Tidak Guru."
Guru Cuplis : "Mengapa demikian?"
Unyil : "Karena aku menginginkannya demikian."
Guru Cuplis : "Bagus, kau tidak sebodoh ayahmu. Hahaha". Guru Cuplis tertawa senang.
Suasana hening sebentar, kemudian Guru Cuplis meneruskan.
Guru Cuplis : "Nyil, kau tahu kriteria pemanah terbaik?"
Unyil : "Tidak Guru."
Guru Cuplis : "Pemanah terbaik adalah pemanah yang dapat memanah di dalam pikirannya dan di dalam dunia nyata."
Unyil : "Lalu?"
Guru Cuplis : "Pemanah terbaik dapat mengarahkan anak panah tepat ke sasaran atau tidak sama sekali."
Unyil : "Lalu?"
Guru Cuplis : "Lihatlah buah mangga di pohon dekat sungai!"
Unyil : "Iya Guru."
Perlahan-lahan Guru Cuplis, mulai menarik busur khayalannya. Kemudian menarik nafas agak dalam. Dalam sekejap dilepaskanlah anak panah khayalannya. Sebuah mangga pun jatuh bagai disambar anak panah nyata.
Unyil : "Wow... Hebat sekali Guru!" Unyil terkagum-kagum.
Guru Cuplis : "Kamu ingin seperti guru?"
Unyil : "Pasti Guru, Unyil kan tidak sebodoh Ayah."
Guru Cuplis : "Kalo begitu latihlah apa yang Guru ajarkan tadi, setiap hari."
Unyil : "Sampai kapan Guru?"
Guru Cuplis : "Sampai kau bisa melakukan apa yang Guru tadi lakukan."
Unyil : "Wah, PR berat nih..."
Guru Cuplis : "Kamu pasti bisa, kamu tidak sebodoh ayahmu."
Guru Cuplis : "Nyil, dengarkan nasehat Guru."
Unyil : "Ya, Guru."
Guru Cuplis : "Pemanah terbaik dapat memindahkan realita kecilnya ke dalam realita besarnya."
Unyil : "Hmmmm...."
Unyil : "Ngomong-ngomong Guru, apa yang menyebabkan mangga tersebut jatuh?"
Guru Cuplis : "Aku tidak tahu nyil, mungkin saja memang saatnya jatuh. hehehe" Guru Cuplis hanya tertawa sambil meninggalkan muridnya yang keheranan.