Isnin, Oktober 25, 2004

Boomer

Di masa itu keluarga kami sedang dalam keadaan yang sangat sulit. Tapi kebahagiaan tetap ada di antara kami didukung oleh solidaritas antara anggota keluarga. Boomer lahir di rumah tetanggaku. Kala itu aku berumur sekitar 4 tahun. Kami satu keluarga sangat senang dengan kedatangan anggota keluarga ke 10 tersebut. Khususnya aku yang akhirnya memiliki teman sebaya di dalam keluarga. Boomer terlahir sebagai anjing kelas atas. Bulunya bagus dan sangat lucu penampakannya. Kelemahannya hanya satu, bahwa dia sangat tidak suka diganggu ketika makan. Jika sedang makan, dia seperti singa. Jika sedang tidur dia seperti domba. Jika sedang bercanda dia seperti kera.

Boomer tumbuh dewasa bersamaku. Kami minum produk susu yang sama setiap hari, dia sangat lincah dan pandai. Kakak-kakakku gemar sekali melatihnya menjadi anjing yang pintar. Aku dan Boomer bagai saudara kembar. Kadang kami tidur bersama, dan aku bercanda dengan dia bak anak dengan anak. Kadang-kadang jika dia menggigitku, aku pun membalas menggigitnya. Seiring bertambah dewasanya Boomer, Ayahku mendapat pekerjaan. Kebetulan sekali ayahku mendapat kepercayaan untuk menangani sebuah pabrik kertas yang baru lahir. Seperti kata orang-orang, sepertinya benar bahwa Boomer memang membawa rezeki bagi keluarga kami. Akhirnya boomer pun dibawa oleh ayahku untuk menemani ayahku di pabrik tersebut. Aku sedih sekali sebenarnya dengan keputusan ayahku. Tapi apa boleh buat, ayahku di sana hanya bersama beberapa orang pegawai. Siapa lagi yang dapat melindungi ayahku jika terjadi kejadian yang membahayakan dirinya.

Lambat laun aku mulai terbiasa dengan ketidakhadiran Boomer. Sesekali aku mengunjunginya. Rupanya Boomer telah menjadi bapak sekarang. Dia mengawini anjing kampung di pabrik tersebut. Anjing tersebut bernama Merry. Lambat laun keturunan Boomer mengisi koloni anjing penjaga pabrik. Beberapa di antaranya Cuplis, Brino dan Putih yang kami adopsi untuk dijadikan anggota keluarga. Boomer selalu menjadi pemimpin di koloni tersebut. Tidak ada satu anjing pun yang berani untuk merebut posisinya. Makin tua makin menjadi. Selalu ada perkelahian di dalam kehidupan Boomer, tetapi dia selalu keluar menjadi pemenangnya. Boomer hanya takut kepada satu anjing yang aku tahu, yaitu Merry. Entah kenapa atau mungkinkah Boomer memiliki rasa cinta kepada Merry aku tidak tahu, tapi yang pasti Boomer tidak pernah berani melawan Merry.

Yang paling aku senang ketika mengunjunginya, dia selalu menyambutku dengan gembira. Ekornya yang panjang dengan bulu tebalnya yang berwarna hitam putih bergoyang ke kanan – ke kiri menandakan bahwa dia rindu kepadaku. Ketika sampai di sana aku sempat kaget bahwa dia telah bisa mengerti beberapa perintah. Seperti membuka pintu, dia telah mempelajarinya dengan baik asalkan saja pintu tersebut sering diminyaki engselnya dan dia membuka dari sisi luar karena dia tidak mempunyai kekuatan mendorong kecuali dengan membebankan dirinya pada pintu. Dia juga mengerti perintah untuk duduk , berdiri , berguling dan melompat.

Hal yang paling kutangisi adalah masa tua Boomer. Di masa tuanya dia menjadi anjing yang sakit-sakitan, dia sudah tidak bisa mengelak lagi dari grogotan usia. Akhirnya anjing kesayangan ku tersebut pun mati tanpa ada yang datang pada saat pemakamannya kecuali ayahku dan beberapa anjing-anjing lainnya. Mendengar berita itu, aku kemudian datang dan menjenguk kuburannya. Di sana aku panjatkan doa semoga Boomer masuk sorga. (waktu itu aku masih percaya adanya sorga dan neraka). Koloni anjing pabrik pun mulai berkurang jumlahnya. Tidak ada lagi pemimpin yang cocok di dalam koloni tersebut. Sehingga satu per satu hilang dan 20 tahun kemudian, aku sudah tidak menemukan lagi koloni anjing di sana. Kenangan indah Boomer selalu diingat keluargaku. Sangat sulit untuk melupakan arti hadirnya Boomer di dalam hidupku dan keluarga. Sampai aku tua kemudian mati, Boomer akan selalu terkenang di dalam hidupku. Sahabat kecil yang sejati.

Isnin, Oktober 04, 2004

Reality Show

Kebanyakan manusia normal menyadari bahwa mereka sedikit gila atau agak gila atau memang benar-benar gila. Sebagian dari mereka menikmati untuk menjadi gila dan bangga akan hal itu. Kegilaan adalah salah satu bentuk ekspresi dan aktualisasi diri. Saya merupakan bagian dari orang-orang seperti itu, dan saya menyadari bahwa hanya ada garis tipis yang memisahkan antara gila dan normal.

Biasanya kegilaan itu bersifat temporer dan hanya menyangkut hal-hal spesifik yang berkaitan dengan kekosongan dan kehampaan di dalam hidup. Ada orang-orang yang gila uang karena ketakutan akan kemiskinan. Ada juga orang-orang yang gila kenikmatan karena dendam tidak dapat menikmati hal-hal yang menurutnya dapat memuaskan dan memberikan kebahagiaan di masa lalu. Ada pula orang-orang yang gila karena mereka merasa normal.

Dua sisi gila dan normal seperti dua mata uang yang tak pernah dapat dipisahkan. Jika kita hanya berada di salah satu sisi, maka kita akan menjadi normal dan tidak tahu definisi gila atau kita akan menjadi gila tanpa tahu apakah itu normal. Tapi apabila kita dapat berada di dua sisi mata uang tersebut, barulah kita menyadari bahwa tidak ada yang gila maupun normal yang ada hanyalah kenyataan. Seperti kita menyadari bahwa tidak ada sisi wayang atau sisi rumah pada mata uang, melainkan hanya mata uang tersebut.

Hidup ini memang menyedihkan, hanya saja kebanyakan orang menyangkalnya. Ada orang-orang yang menganggap hidup ini indah, tapi saya rasa itu hanyalah penyangkalan terhadap kesedihan mereka yang mendalam. Semua manusia sadar bahwa hidup memang menyedihkan dan mereka mencari cara untuk menghapus kesedihan dan penderitaan tersebut dari dalam jiwanya. Beberapa ekstrim berlaku untuk menikmati penderitaan dan kesedihan itu. Sangat bertentangan dengan manusia pada umumnya yang berusaha menyangkalnya. Kedua ekstrim itu tidak akan membawa kita kepada kesembuhan mental, melainkan hanya membawa kita jauh dari kebahagiaan yang kita cari tersebut. Di manakah letak kebahagiaan itu, tidak seorang pun tahu, karena memang kebahagiaan itu tak pernah ada. Dan ketika kesadaran kita tentang kebahagiaan tidak ada, maka kesedihan dan penderitaan pun lenyap.

Manusia selalu berandai-andai “jika saya di dalam kondisi A, maka saya akan bahagia”, “jika saya di dalam kondisi B, maka saya akan menderita”. Mereka selalu berkhayal untuk bahagia, dan bersikap menjauhi hal-hal yang menurut mereka membuat penderitaan. Sakit hati, penderitaan adalah penyakit umum. Sama seperti penyakit flu, tidak bisa dihindari dan disembuhkan, hanya bisa dihilangkan rasa sakitnya dengan menipu diri sendiri. Dan semuanya menyukai obat penipuan, terus berlari ke sana kemari mencari obat baru untuk penyakit mentalnya.

Sumber dari rasa sakit dan penderitaan tersebut tidak ada yang tahu sampai mereka sadar bahwa sumber penderitaan itu adalah kesadaran semu bahwa kita hidup. Itulah kenyataan pahit yang harus kita terima pada saat dilahirkan, kesadaran semu bahwa kita hidup dan eksis. Seperti seorang manusia yang diceburkan ke dalam samudera luas dan terus berenang untuk mempertahankan kepalanya di atas permukaan air agar dapat bernapas, tanpa tahu ke arah mana mereka harus berenang dan menemukan daratan yang dapat membuat mereka bebas bernapas dan berteriak “I’m Alive”. Seperti itulah kita semua, mayat-mayat yang menunggu untuk dibangunkan dan hidup kembali.