Isnin, Oktober 04, 2004

Reality Show

Kebanyakan manusia normal menyadari bahwa mereka sedikit gila atau agak gila atau memang benar-benar gila. Sebagian dari mereka menikmati untuk menjadi gila dan bangga akan hal itu. Kegilaan adalah salah satu bentuk ekspresi dan aktualisasi diri. Saya merupakan bagian dari orang-orang seperti itu, dan saya menyadari bahwa hanya ada garis tipis yang memisahkan antara gila dan normal.

Biasanya kegilaan itu bersifat temporer dan hanya menyangkut hal-hal spesifik yang berkaitan dengan kekosongan dan kehampaan di dalam hidup. Ada orang-orang yang gila uang karena ketakutan akan kemiskinan. Ada juga orang-orang yang gila kenikmatan karena dendam tidak dapat menikmati hal-hal yang menurutnya dapat memuaskan dan memberikan kebahagiaan di masa lalu. Ada pula orang-orang yang gila karena mereka merasa normal.

Dua sisi gila dan normal seperti dua mata uang yang tak pernah dapat dipisahkan. Jika kita hanya berada di salah satu sisi, maka kita akan menjadi normal dan tidak tahu definisi gila atau kita akan menjadi gila tanpa tahu apakah itu normal. Tapi apabila kita dapat berada di dua sisi mata uang tersebut, barulah kita menyadari bahwa tidak ada yang gila maupun normal yang ada hanyalah kenyataan. Seperti kita menyadari bahwa tidak ada sisi wayang atau sisi rumah pada mata uang, melainkan hanya mata uang tersebut.

Hidup ini memang menyedihkan, hanya saja kebanyakan orang menyangkalnya. Ada orang-orang yang menganggap hidup ini indah, tapi saya rasa itu hanyalah penyangkalan terhadap kesedihan mereka yang mendalam. Semua manusia sadar bahwa hidup memang menyedihkan dan mereka mencari cara untuk menghapus kesedihan dan penderitaan tersebut dari dalam jiwanya. Beberapa ekstrim berlaku untuk menikmati penderitaan dan kesedihan itu. Sangat bertentangan dengan manusia pada umumnya yang berusaha menyangkalnya. Kedua ekstrim itu tidak akan membawa kita kepada kesembuhan mental, melainkan hanya membawa kita jauh dari kebahagiaan yang kita cari tersebut. Di manakah letak kebahagiaan itu, tidak seorang pun tahu, karena memang kebahagiaan itu tak pernah ada. Dan ketika kesadaran kita tentang kebahagiaan tidak ada, maka kesedihan dan penderitaan pun lenyap.

Manusia selalu berandai-andai “jika saya di dalam kondisi A, maka saya akan bahagia”, “jika saya di dalam kondisi B, maka saya akan menderita”. Mereka selalu berkhayal untuk bahagia, dan bersikap menjauhi hal-hal yang menurut mereka membuat penderitaan. Sakit hati, penderitaan adalah penyakit umum. Sama seperti penyakit flu, tidak bisa dihindari dan disembuhkan, hanya bisa dihilangkan rasa sakitnya dengan menipu diri sendiri. Dan semuanya menyukai obat penipuan, terus berlari ke sana kemari mencari obat baru untuk penyakit mentalnya.

Sumber dari rasa sakit dan penderitaan tersebut tidak ada yang tahu sampai mereka sadar bahwa sumber penderitaan itu adalah kesadaran semu bahwa kita hidup. Itulah kenyataan pahit yang harus kita terima pada saat dilahirkan, kesadaran semu bahwa kita hidup dan eksis. Seperti seorang manusia yang diceburkan ke dalam samudera luas dan terus berenang untuk mempertahankan kepalanya di atas permukaan air agar dapat bernapas, tanpa tahu ke arah mana mereka harus berenang dan menemukan daratan yang dapat membuat mereka bebas bernapas dan berteriak “I’m Alive”. Seperti itulah kita semua, mayat-mayat yang menunggu untuk dibangunkan dan hidup kembali.

Tiada ulasan: