Sabtu, Julai 23, 2005

Sepanjang Jalan Setapak

Aku duduk memandangi barisan pohon singkong yang kurang subur. Dengan daun-daun yang menguning dan batang-batang kering yangbelum rontok, mereka seperti menyanyi memanggil hujan. Memintaharapan kehidupan mereka diperpanjang. Begitu pun dengan rumput-rumput disekelilingnya, kekeringan sepertinya menyiksa mereka. Akumulai menyadari apa yang mereka rasakan, sampai awan mendungmemayungi diriku, udara terasa bertambah dingin dan sejuk, hembusanangin pun bertambah kencang. Bahagia rasanya mengetahui bahwahari itu akan hujan, dan pohon-pohon itu sepertinya melemparkansenyuman untuk harapan hidup mereka yang bertambah.
Tetapi dia tak kunjung datang, seperti kekasih yang kau nantikantahun demi tahun. Sakit rasanya ketika harapan tak terkabul.Aku hanya bisa gigit jari dan berharap kembali. Maklum kala itu akuberada di sebuah desa yang bernama desa candi, di wilayah WonosariGunung Kidul. Daerah yang penuh mistik dan rahasia-rahasia yangbelum semua terungkap. Wilayah yang terkenal pula dengan bencana kekeringannya.
Tetes demi tetes mengalir , tetapi bukan dari langit yang mendung itu,aku tahu mereka hanya lewat dan memalingkan muka. Tetes-tetes tersebut mengalir dari keluarga kakak ibuku. Mereka menangisikepergiannya. Walau pun Pak De ku hanyalah seorang kampung yanglugu, tapi keluarganya mencintai dia. Dia adalah orang yang punyapendirian kuat, tak ada yang bisa menggoyangkan dia, termasuk istridan saudara-saudara kandungnya. Makanya aku tak heran kalau akujuga punya sifat keras kepala seperti itu.
Aku tidak pernah mengenal sangat dekat dengan Dia. Obrolan kamitidak pernah menembus wilayah hati. Mungkin karena watak kami yang sama-sama keras kepala, sehingga sulit untuk bercerita lebih dalam.Tapi kala itu yang terlintas di pikiranku. Mengapa obrolan kami kebanyakan hanya berlangsung sepanjang jalan setapak ini. Aku tak tahu alasannya.Tapi itulah satu-satunya kenangan yang dia berikan kepadaku. Sebuah jalansetapak.
Pak de adalah seorang laki-laki yang memimpin keluarga nenekku semenjakkakek ku meninggal. Dia pula yang bertindak sebagai ganti ayah untukadik-adiknya. Karena itu adik-adiknya sangat menyayanginya. Terbuktidari suara tangisan dan tetesan air hujan lokal yang tak kunjung padam.Sebagai seseorang yang dituakan, dialah yang ditunjuk sebagai juru kunci ketika aku nyekar* kuburan nenekku. Dialah yang memimpinkuuntuk proses ritual tersebut. Di situlah kami sering mengobrol. Di sepanjangjalan setapak antara rumah nenekku dengan kuburan desa. Walaupunobrolan kami terasa dangkal, hanya basa basi saling menanyakan kabar.Tapi berulang-ulang kejadian itu terjadi. Obrolan-obrolan yang hanya berkisarpertanyaan tentang keadaan kakak-kakak ku dan perhatian-perhatian seorang Pak De terhadap keponakannya.
Aku tidak bisa menangis di kala kematian nya, bukan karena aku dingin , cuek ataukarena aku seorang laki-laki. Akan tetapi karena tangisan itu berada di dalam,tersembunyi rapat, dan sulit untuk dikuak. Aku menangis di dalam hati karenaaku tak pernah bisa benar-benar dekat dengan Dia. Mengapa kenanganitu hanyalah disepanjang jalan setapak, tidak di jalan yang lain, atau sungai-sungai yang kering, sesalku. Mengapa nasib hanya memperkenalkan aku dengan diasebatas hubungan yang dangkal, sehingga hingga saat ini aku tak pernahmengerti benar apa yang ada di dalam pikirannya. Andai saja ada lagi suatu kesempatan untuk lebih mengenalnya pikirku.
Walau pun sangat singkat dan tidak pernah lebih dari sekedar obrolan biasa, aku masih bisa merasakan dan mendengarkan kata-kata nya, seperti baru kemarinsaja itu terjadi.

*nyekar adalah budaya jawa untuk menghormati leluhur dengan mengirim doa-doa, menyan dan bunga ke kuburan sang almarhum.

Tiada ulasan: